Rabu, 30 Desember 2009

Pernikahan Beda Agama


Hukum pernikahan beda agama sesungguhnya amat jelas. Perkara ini telah banyak dikupas dalam berbagai literatur Islam, mulai dari kitab fikih, tafsir hingga hadis. Kesimpulan para ulama juga tidak jauh berbeda. Hal itu disebabkan karena perkara tersebut didasarkan pada dalil-dalil yang qath’i, baik tsubût maupun dalâlah-nya.


Menikah dengan Kaum Musyrik

Kaum Muslim haram menikah dengan kaum musyrik. Hukum ini berlaku bagi Muslim maupun Muslimah. Laki-laki Muslim haram menikahi wanita musyrik dan wanita Muslimah haram dinikahi laki-laki musyrik. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ

Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik daripaada wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya (QS al-Baqarah [2]: 221).

Ayat ini secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum musyrik.1 Bahkan tidak ada perbedaan di kalangan para ahli ilmu tentang keharaman menikahi wanita kafir (selain Ahlul Kitab) dan memakan sembelihannya.2

Menurut pendapat yang râjih, kata al-musyrikât tidak mencakup Ahlul Kitab. Di antara dalilnya adalah adanya beberapa ayat yang menyebut orang kafir itu terdiri dari dua golongan, yakni Ahlul Kitab dan musyrik (lihat QS al-Baqarah [2]:105; al-Maidah [5]: 82, al-Bayyinah [96]: 1 dan 6). Dalam ayat-ayat itu, al-musyrikîn di-athaf-kan kepada Ahli Kitab. Adanya athaf itu menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya. Oleh karena itu, kata al-musyrikât dalam ayat ini tidak mencakup wanita Kitabiyah. Sebagaimana dinyatakan al-Shabuni, ini merupakan pendapat jumhur ulama.3


Menikahi Ahlul Kitab

Terdapat perbedaan hukum antara pria Muslim dan wanita Muslimah dalam hal menikah dengan Ahlul Kitab. Seorang pria Muslim boleh menikahi wanita Muslimah dan Ahlul Kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik. Makanan Ahlul Kitab juga halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka. Demikian pula dengan perempuan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang Mukmin dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari Ahlul Kitab sebelum kalian (QS al-Maidah [5]: 5).

Patut dicatat, hukum mubah itu bukan berarti harus dikerjakan. Sebab, dalam memilih istri, Rasulullah saw, telah mendorong pria Muslim untuk lebih memperhatikan aspek agamanya. Beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Perempuan dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah yang beragama niscaya kamu akan beruntung (HR al-Bukhari).

Sebaliknya, haram wanita Muslimah menikah dengan laki-laki Ahlul Kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani. Allah SWT berfirman:

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Jika kalian mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 10).

Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa orang-orang kafir tidak halal bagi perempuan Mukmin. Kata al-kuffâr adalah kata umum yang mencakup seluruh orang-orang kafir, baik Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun orang musyrik.


Bantahan terhadap Klaim Kaum Liberal

Bertolak dari uraian di atas, hukum pernikahan beda agama sudah amat jelas. Namun, bukan kaum Liberal jika tidak suka menggugat hukum-hukum yang telah mapan. Dengan berbagai dalih, mereka menggulirkan ide tentang kebolehan pernikahan beda agama dalam segala bentuknya. Bahkan di antara mereka ada yang sudah melangkah jauh: memfasilitasi pernikahan beda agama. Berikut ini di antara beberapa dalih yang mereka kemukakan beserta bantahan terhadapnya.

a. Pluralisme.

Alasan pluralisme kerap dijadikan sebagai dalih kebolehan pernikahan lintas agama. Dalam pandangan ide ini, pernikahan beda agama tidak boleh dipermasalahkan karena hakikatnya semua agama adalah sama. Ulil Abshar Abdalla, misalnya, mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi sebab al-Quran juga tidak pernah secara tegas melarang hal itu. Sebaliknya, al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.4

Pluralisme jelas tidak boleh dijadikan penentu halal-haramnya perbuatan. Bahkan ide pluralisme sendiri adalah batil sehingga tidak boleh diyakini kebenarannya. Pandangan bahwa al-Quran memandang manusia sederajat tanpa melihat perbedaan agama juga merupakan pandangan batil. Al-Quran telah menetapkan perbedaan kemuliaan di antara manusia dan standar yang digunakan adalah aspek keimanan dan amal shaleh (QS at-Tin [95]: 4-6) dan ketakwaannya (QS al-Hujurat [49]:14). Dalam QS al-Bayyinah [98]: 6-7 juga dinyatakan bahwa kaum kafir disebut sebagai syarr al-bariyyah (seburuk-buruknya makhluk); sebaliknya, orang yang beriman dan beramal salih disebut sebagai khayr al-bariyyah (sebaik-baik makhluk). Bahkan dalam QS al-Anfal [8]: 85 kaum kafir disebut sebagai syarr al-dawâb (seburuk-buruknya binatang). Itu semua menunjukkan batilnya anggapan yang menyamakan semua manusia, apa pun agamanya.

b. Nâsikh-Mansûkh.

Tokoh liberal lainnya, Abdul Moqsith Ghazaly, mengatakan bahwa di dalam al-Quran tidak dicantumkan hukum pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Yang dicantumkan adalah sebaliknya. Ini merupakan min bab al-iktifa’. Karena itu, berlaku hukum sebaliknya (mafhûm al-mukhâlafah). Selain itu, dalam teks-teks agama tidak ditemukan dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Karena tidak ada dalil al-Quran yang melarang maka itu berarti sudah menjadi dalil kebolehannya sehingga pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim dibolehkan.5

Selain itu, menurutnya, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun yakni QS al-Maidah [5]: 5 itu adalah ayat yang membolehkan nikah dengan Ahlul Kitab serta telah mengamandemen pelarangan menikah dengan orang kafir dan orang musyrik yang sebelumnya dilarang dalam QS al-Baqarah [5]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10.6

Pandangan bahwa tidak ada dalil yang menyebutkan larangan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim jelas dusta. Manthûq firman Allah SWT dalam QS al-Mumtahanah [60]: 10 dengan tegas menjelaskan tidak halalnya wanita Muslimah bagi orang-orang kafir. Teks dalam QS al-Baqarah juga menyatakan al-muhshanât min al-ladzîna ûtû al-kitâb adalah isim muannats yang tidak dapat mencakup laki-laki dari Ahlul Kitab sehingga mereka halal bagi perempuan Muslimah.

Pernyataan bahwa QS al-Maidah [5]: 5 merupakan ayat yang turun setelah QS al-Baqarah [2]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10 sehingga hukum kedua ayat terakhir di-naskh dengan ayat terakhir juga tidak bisa diterima.

Metode penetapan nâsikh-mansûkh—bahwa suatu hukum yang dikandung oleh suatu dalil diganti oleh hukum yang lain harus ditetapkan secara syar’i—bukan sekadar karena adanya perbedaan pada dua dalil. Harus ada nash yang menerangkan baik secara tekstual ataupun dalâlah bahwa hukum sebelumnya telah di-naskh oleh hukum yang dikandung oleh nash berikutnya atau kedua nash tersebut tidak dapat dikompromikan satu sama lain.7

Dengan mencermati ketiga ayat di atas tampak bahwa masing-masing ayat tersebut tidak ada yang saling menegasikan sehingga salah satunya harus di-naskh sebagaimana yang dijelasakan di atas. Oleh karena itu, menggunakan konsep nâsikh-mansûkh untuk membedah ayat-ayat tersebut tidak pada tempatnya. Memang di antara ulama ada yang menganggap terdapat nâsikh-mansûkh pada kedua ayat itu. Namun, jika diteliti, kesimpulannya sama: keharaman menikah dengan kaum musyrik dan kebolehan bagi pria Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab.

c. Perbedaan penafsiran.

Dalih lain lainnya terdapat dalam buku ‘Fiqih Lintas Agama’, bahwa ada keragaman di dalam menafsirkan teks-teks ayat-ayat yang dianggap melarang pernikahan beda agama. Menurut buku ini, dengan merujuk pendapat Rasyid Ridha dalam Al-Manâr, sebenarnya cakupan Ahlul Kitab tidak terbatas hanya Yahudi dan Nasrani. Jika seseorang sudah percaya pada salah satu nabi maka bisa dikategorikan Ahlul Kitab. Jadi pengertian dan cakupan Ahlul Kitab semakin meluas seiring dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, tidak ada larangan menikah dengan penganut agama lain seperti Hindu, Budha, dll selama mereka mempunyai kitab suci. Untuk mendukung pendapat tersebut penulis juga mencomot nama Abu Hanifah dan Abu A’la al-Maududi—tanpa menyertakan sumbernya—yang dianggap sejalan dengan pendapat tersebut.8

Argumentasi tersebut tidak dapat diterima karena istilah ahlul kitab adalah istilah syar’i yang memiliki batasan spesifik. Dengan demikian, istilah itu tidak dapat ditafsirkan semaunya tanpa ada pijakan yang kukuh. Ahlul Kitab dalam berbagai kitab-kitab tafsir yang mu’tabar hanya diartikan sebagai Yahudi dan Nasrani saja. Sejumlah nash telah menafsirkan frasa ahlul kitab sebagai Yahudi dan Nasrani di antaranya QS Ali Imran [3]:65; al-Maidah [5]:68; al-An’am [6]: 156.

Pandangan Rasyid Ridha yang dijadikan pijakan penulis juga tidak dapat diterima. Al-Baghdadi—sebagaimana yang dikutip Rasyid Ridha—memang menyatakan bahwa Majusi dan sejumlah firqah lainnya mengklaim memiliki nabi yang menerima wahyu dari Allah SWT. Namun demikian, al-Baghdadi tidak menyatakan bahwa mereka termasuk Ahlul Kitab.9

Adapun klaim bahwa Imam Ali mengganggap Majusi sebagai Ahlul Kitab maka hal tersebut telah dibantah oleh Imam as-Sarkhasi. Beliau juga menjelaskan posisi Abu Hanifah dalam masalah ini yang kontradiktif dengan apa yang diklaim oleh orang-orang Liberal.10

Bahkan dalam Marâtib al-Ijmâ’, Ibnu Hazm menyatakan bahwa umat telah bersepakat bahwa selain Yahudi dan Nasrani dari ahlu al-harb dinamakan sebagai orang-orang musyik. Mereka juga bersepakat tentang penamaan Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang kafir, kendati mereka berbeda pendapat dalam menamakan keduanya sebagai orang-orang musyrik.11

d. Konteks politik.

Alasan lain yang digunakan untuk membolehkan perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki kafir adalah karena larangan tersebut bersifat politis dan karenanya bersifat temporal. Suhadi dalam, Kawin Beda Agama; Perspektif Kritis Nalar Islam, menyatakan bahwa larangan perbedaan nikah beda agama adalah kembali pada asbâb an-nuzûl ayat-ayat yang melarang perempuan Muslimah menikahi laki-laki kafir. Menurutnya, hal tersebut hanya karena alasan politis karena pada awal kehidupan Muhammad di Madinah, beliau masih traumatik dengan benturan kekerasan dengan kafir Qurays Makkah.12

Pandangan bahwa setiap ayat harus dikembalikan pada asbâb an-nuzul-nya yang dianggap bersifat temporal dan parsial merupakan salah satu logika khas orang-orang Liberal. Kesimpulan ini jelas salah. Alasannya: Pertama, dari sisi redaksi, ayat-ayat yang memiliki sabab nuzûl seluruhnya berbentuk umum sehingga ia diterapkan atas keumumannya. Kedua, Rasulullah saw. dan diikuti para Sahabat ra. telah memberlakukan hukum yang umum tersebut pada seluruh perkara lain dalam kasus serupa.

Ayat tentang pencurian, misalnya, meski sabab nuzûl-nya berkaitan dengan pencurian perisai atau selendang Shafwan, oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat ia tetap diberlakukan untuk seluruh kasus pencurian. Demikian pula dengan ayat tentang li’ân yang berkenaan dengan Hilal bin Umayyah dan zhihâr yang berkenaan dengan Salamah binti Shakhr atau Khaulah binti Sa’labah. Oleh karena itulah para ulama membuat suatu kaidah: al-Ibrah bi ‘umûmi al-lafdz lâ bi khusûs al-Sabab.13 Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. [M. Ishak dan Abu Burhanuddin]

Catatan kaki:

1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/582 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1997).

2 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, XV/151.

3 Ash-Shabuni, Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, 1/267 (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendapat ini juga dinyatakan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir lebih tepat. Lihat: ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, IV/365: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/582.

4 Ulil Abshar Abdalla. 2002. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.” Kompas. Senin, 18 November.

5 http://islamlib.com/id/artikel/fatwa-nu-tentang-sesatnya-islam-liberal

6 Ibid.

7 Taqiyuddin an-Nabhani. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Beirut: Dar al-Ummah, 2005) III/284.

8 Lihat: Nurcholis Madjid, at.al., Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 2004), hlm. 42-54 dan 153-165.

9 Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu bayna al-Firâq, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, tt.), hlm. 223.

10 Lebih lanjut lihat: Syamsuddin As-Sarkhasi, Al-Mabsûth, al-Maktabah asy-Syamilah. IV/385; al-Kâsani, Badâi’u ash-Shanâi’, II/271, al-Maktabah asy-Syamilah.

11 Ibnu Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’. Al-Maktabah asy-Syamilah.

12 Suhadi, Kawin Lintas Agama; Pespektif Kritis Nalar Islam (Yogyakarta: LKis, 2006) hlm. 112

13 Atha Ibnu Khalil, Taysîr al-Wushûl fi ‘Ilmi al-Ushûl (Beirut: Dar al-Ummah, 2000) hlm. 223.

Hukum Kartu Kredit dan Kartu Debet

Berdasarkan bentuk dan karakteristiknya, bank lazimnya mengeluarkan kartu plastik yang bisa digunakan sebagai alat transaksi. Kartu tersebut bisa dibagi menjadi dua: kartu kredit dan kartu debit. Kartu kredit adalah suatu jenis penyelesaian transaksi ritel (retail) dan sistem kredit, yang namanya berasal dari kartu plastik yang diterbitkan untuk pengguna sistem tersebut. Kartu kredit berbeda dengan kartu debit. Bedanya, penerbit kartu kredit meminjami konsumen uang dan bukan mengambil uang dari rekening. Kebanyakan kartu kredit memiliki bentuk dan ukuran yang sama, seperti yang dispesifikasikan oleh standar ISO 7810. Lazimnya pinjaman, pengguna kartu tersebut wajib mengembalikan pinjamannya pada tenggat waktu yang telah ditetapkan. Jika tidak bisa, selain terkena beban bunga, juga denda atau pinalti. Contoh kartu kredit: Mastercard, VISA, American Express, Diners Club, JCB dan lain-lain.

Adapun kartu debit adalah sebuah kartu pembayaran secara elektronik yang diterbitkan oleh sebuah bank. Kartu ini mengacu pada saldo tabungan bank Anda di bank penerbit kartu tersebut. Apabila tabungan Anda Rp 1 juta, misalnya, Anda tidak bisa melakukan transaksi di atas nilai tersebut. Dengan kata lain, nilai transaksi dibatasi oleh nilai tabungan Anda. Setiap pembayaran dengan kartu debit akan mengurangi saldo tabungan Anda secara langsung (realtime) seperti halnya Anda menarik tabungan di ATM. Fungsi dari kartu debit adalah untuk memudahkan pembayaran ketika berbelanja tanpa harus membawa uang tunai. Kartu tersebut akan digesekkan pada sebuah alat pembaca kartu (magstripe reader) di merchand tempat Anda belanja dan Anda akan diminta untuk memasukkan nomor PIN sebagai bukti Anda mengakui pembelanjaan tersebut. Info dari hasil pembacaan beserta informasi total belanja akan di teruskan ke bank penerbit untuk dilakukan verifikasi keabsahan dari kartu tersebut. Sesudah verifikasi berhasil, saldo tabungan Anda langsung didebit (dikurangi). Contoh kartu debit ini seperti Kartu Debit BCA, Mandiri, BNI, BRI dan sebagainya.

Berdasarkan kedua fakta di atas, hukum kartu kredit berbeda dengan hukum kartu debit. Kartu kredit jelas-jelas haram. Dalil keharamannya dikembalikan pada dalil tentang keharaman riba. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang Mukmin (QS al-Baqarah [2]: 278).

Ini karena transaksi dengan menggunakan kartu kredit merupakan bentuk qardh (hutang) dari pengguna kartu kepada pihak bank, disertai dengan bunga dan denda. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana kalau dalam pengemba-liannya bisa menghindari bunga, misalnya dibayar tepat waktu, sehingga bisa terhindar dari bunga. Yang pasti, bunga tidak bisa dihindari oleh pemegang kartu, karena memang sudah ditetapkan oleh pihak bank. Adapun yang bisa dihindari, sebenarnya bukanlah bunga, melainkan denda atau pinaltinya. Dengan demikian, jelas bahwa kartu kredit tersebut nyata-nyata transaksi riba, yang status akadnya batil dan diharamkan di dalam Islam.

Berbeda dengan kartu debit. Penggunaan kartu debit statusnya bukanlah dayn dari pemegang kartu kepada pihak bank, melainkan pemindahan hak yang dimiliki oleh pengguna kartu kepada pihak lain, yang dilakukan oleh bank atas perintah pengguna kartu tersebut. Dalam kasus ini, status penggunaan kartu debit tersebut sama dengan hawalah. Hawalah itu sendiri hukumnya mubah. Rasulullah saw. bersabda:

مَطَلُ الْغَنِيُّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُحِيْلَ أَحَدُكُمْ عَلَى غَنِيٍّ فَلْيَسْتَحِلْ

Orang kaya yang menangguh-nangguhkan (pembayaran hutang) adalah zalim. Jika salah seorang di antara kalian memindahkan (hutang) kepada orang kaya maka hendaknya dia memindahkan (hutangnya) (Dikeluarkan oleh Ibn Rusyd dalam Al-Bidâyah).

Menurut Ibn Rusyd, hawalah ini merupakan bentuk transaksi yang sah, dan dikecualikan dari praktik pembayaran hutang dengan hutang.1 Dalam praktik hawalah, biasanya ada empat hal: muhil (orang yang memindahkan hak), muhtal (orang yang diminta memindahkan hak), muhal ‘alayhi (orang yang menerima hak), muhal bihi (hak/tanggungan yang dipindahkan). Dengan logika hawalah ini bisa dipetakan, bahwa pemegang kartu debit tadi bertindak sebagai muhil, pihak bank adalah muhtal, pihak ketiga yang mendapatkan haknya disebut muhal ‘alaihi, dan hak (uang) yang diberikan kepadanya disebut muhal bihi.

Hukum hawalah pada dasarnya mubah. Hawalah tidak akan terjadi manakala muhil tidak memiliki hak yang ada pada muhtal, yang bisa dipindahkan kepada pihak ketiga (muhal ‘alayhi). Karena itu, Ibn Qudamah menyebut hawalah ini sama dengan taslîm (penyerahan hak/tanggungan).2Dalam praktiknya, hawalah tidak hanya berupa debit dari dana pengguna kartu bank tertentu, tetapi juga bisa berupa transfer dan pengiriman uang. Ini juga sama-sama bisa dikategorikan sebagai praktik hawalah. Praktik hawalah yang terakhir ini juga tidak hanya dilakukan oleh bank, tetapi juga dilakukan oleh jasa pengiriman uang, seperti Western Union, Kantor Pos dan lain-lain.

Hawalah juga bisa dilakukan dengan menggunakan kertas berharga yang mempunyai nilai nominal tertentu, seperti cek. Ini biasanya disebut Hawalah al-’Ayn. Ada juga yang berbentuk bill of exchange, yang biasanya disebut Hawalah ad-Dayn. Harus dicatat, meski di dalam praktiknya hawalah tersebut melibatkan empat hal: muhil, muhtal, muhal ‘alaihi dan muhal bihi; hawalah ini bukanlah akad sehingga harus memenuhi unsur ijab dan qabul, dan suka sama suka. Hawalah adalah tindakan pribadi, yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu persetujuan pihak lain, baik pihak kedua maupun pihak ketiga.3

Ini berbeda dengan pinjaman, tepatnya qardh. Qardh adalah akad. Dalam kasus kartu kredit, pihak bank bertindak sebagai muqridh (pemberi pinjaman), sedangkan pihak pengguna kartu kredit disebut muqtaridh (penerima pinjaman). Antara muqridh dan muqtaridh terjadi akad peminjaman (qardh), dengan disertai bunga yang diberikan kepada muqridh. Sebagai akad, qardh seharusnya merupakan bentuk pinjaman dengan pengembalian yang fixed dan sama, baik dari segi jenis maupun nominalnya.4 Karena itu, seharusnya pengguna kartu kredit, yang bertindak sebagai muqtaridh tersebut, tidak boleh mengembalikan, kecuali dengan jumlah yang sama. Tanpa bunga dan denda. Ditetapkannya bunga dan denda dalam syarat qardh, dalam kasus kartu kredit tersebut, menurut Mazhab Syafii, bukan saja fasad di dalam syaratnya, tetapi juga merusak akadnya. Dengan kata lain, akadnya tidak sah.5

Mungkin ada yang bertanya, bukankah kartu kredit dan kartu debit, di dalamnya sama-sama mempraktikkan hutang? Mengapa yang satu diharamkan, yang satu tidak? Jawabannya, hutang (qardh) di dalam kartu kredit merupakan transaksi dasar, sedangkan hutang (dayn) atau tepatnya tanggungan (dzimmah) dalam kartu debit merupakan konsekuensi dari hawalah. Sebagai perbandingan, seorang suami yang menanggung nafkah istri dan keluarganya bisa disebut berhutang atau mempunyai dayn; begitu juga seorang wanita yang mengajukan khulû’ juga mempunyai dayn, karena harus membayar sejumlah uang. Namun, dayn di sini merupakan konsekuensi dari kewajiban membayar nafkah dan khulû’, sebagaimana dalam kasus hawalah di atas. Karena itu, status qardh dalam kartu kredit dengan dayn dalam kartu debit jelas berbeda. Selain itu, praktik qardh dalam kasus kartu kredit tersebut merupakan bentuk akad, sementara dayn dalam kasus kartu debit tersebut tidak bisa disebut akad, tetapi tindakan derivatif dari hawalah, yang bisa berlangsung tanpa harus menunggu suka sama suka ataupun ijab dan qabul.

Lalu ada satu lagi pertanyaan, bagaimana dengan syarat bunga yang diberikan oleh bank selaku peminjam kepada pengguna kartu debit selaku pemberi pinjaman? Menurut mazhab Syafii, syarat seperti ini memang fasad, tetapi tidak merusak akad.6 Dengan kata lain, akadnya tetap sah, selama syarat tersebut diabaikan. Wallâhu a’lam. []

Catatan kaki:

1 Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, II/383.

2 Ibn Qudamah, Al-Mughni, Dar al-Afkar ad-Duwaliyyah, Yordania, 2006, I/1048.

3 Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz II, Dar al-Ummah, Beirut, Edisi Muktamadah, 2003, hlm. 350.

4 Ini berbeda dengan hutang (dayn), yang boleh saja dikembalikan dalam bentuk nilai yang sama, jika hutangnya harus dibayar berdasarkan nilainya. Lihat: Samih ‘Athif az-Zain, Mawsû’uah al-Ahkam as-Syar’iyyah al-Muyassarah fi al-Kitab wa as-Sunnah: al-Mu’âmalât, wa al-Bayyinât, wa al-’Uqûbât, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, cet. I, 1995, hlm. 285.

5 Lihat, Ibid, hlm. 308.

6 Lihat, Ibid.

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id

Senin, 28 Desember 2009

bentuk hubungan Ta'aruf & Khitbah


Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Berkaitan dengan anjuran untuk menikah, Allah Swt berfirman :
Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (TQS.An-Nisa [4]: 3)

Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.
Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara yang ma’ruf.

Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:
‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (THR.Bukhari)

Proses khithbah dapat dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat.

Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:

a. Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
‘Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya. (THR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.

b. Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (THR. Muslim dan Ahmad)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu Hurayrah)

c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:
Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (THR.Ibnu Abbas)

d. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas ini memang dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat. Namun bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (THR. Abu Dawud)

e. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.

Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan lainnya.
Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.

Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:

‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (THR.Abu Hurayrah)

Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (TQS. An-Nur [24]:30-31)

Adapun Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah).

Sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia” (THR.Muslim dan Abu Hurayrah)

Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan materi) merupakan hal yang dianjurkan.

Firman Allah Swt:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (TQS. An-Nur[24]:32)

*] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

Rasulullah Saw bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka menikahlah (THR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari perkara haram. (THR. At-Turmudzi)
Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:
Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (TQS. At-Taubah [9]:71)
Ataupun, juga perintah-Nya:
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (TQS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.

Salam Ukhuwah, Kanda Dil…

Metode Pengangkatan Khalifah


Salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan seputar Khilafah adalah bagaimana tata cara (metode) untuk pengangkatan Khalifah. Tidak sedikit yang menolak sistem Khilafah dengan alasan di dalam Islam tidak ada ketentuan yang jelas tentang mekanisme pengangkatan Khalifah. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah ). Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir. (redaksi)

Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah, syara’ juga telah menentukan metode yang harus dilaksanakan untuk mengangkat Khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Maka pengangkatan Khalifah itu dilakukan dengan baiat kaum muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum muslim disini adalah kaum muslim yang menjadi rakyat Khalifah sebelumnya jika Khalifah sebelumnya itu ada. Atau kaum muslim penduduk suatu wilayah yang disitu diangkat seorang Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada Khalifah.

Kedudukan baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan dari baiat kaum muslim kepada Rasulullah saaw dan dari perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang imam. Baiat kaum muslim kepada Rasul saw, sesungguhnya bukanlah bait atas kenabian, melainkan baiat atas pemerintahan. Karena baiat itu adalah baiat atas amal dan bukan baiat untuk mempercayai kenabian. Beliau dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat. Maka baiat kepada Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara.

Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan hadits. Allah Swt telah berfirman :

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. (QS. Muhtahanah : 12)

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. al-Fath : 10)

Imam Bukhari meriwayatkan : Ismail telah menyampaikan kepada kami, Malik telah menyampaikan kepadaku dari Yahya bin Sa’id, ia berkata : “Ubadah bin Walid telah memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari Ubadah bin Shamit yang mengakatakan :

بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ r عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ

Kami telah membaiat Rasulullah saw untuk senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi dan agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tidak takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ

Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)

Juga di dalam Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudzri yang mengatakan : Rasulullah saw pernah bersabda :

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا

Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya (HR. Muslim)

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abiy Hazim yang berkata : “aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)

Nas-nas al-Quran dan as-Sunah di atas secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya metode mengangkat Khalifah adalah baiat. Seluruh sahabat telah memahami hal itu dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Baiat Khulafa’ur Rasyidin sangat jelas dalam masalah ini.


Prosedur Praktis Pengangkatan dan Baiat Khalifah

Prosedur praktis untuk mencalonkan Khalifah sebelum di baiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Hal itu sebagaimana yang terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah secara langsung. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali –radhiyaLlâh ‘anhum–. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal tata cara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syara’. Karena perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa’ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar. Maka seakan-akan perkaranya berada hanya diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu adalah dibaiatnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah adalah baiat in’iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslim. Dan baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.

Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan karena wasiat Abu Bakar. Karena seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad khilafah kepada Umar, pastilah tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim. Terlebih lagi nas-nas yang telah kami sebutkan sebelumnya telah menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali melalui baiat kaum muslim.

Ketika Umar tertikam, kaum muslim memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan untuk memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan rela dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang …”. Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.

Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf berkata : “…. siapa diantara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik diantara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin ‘Awf berkata : ” aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak. Maka jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang.

Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abiy Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.

Dengan meneliti tata cara pembaiatan mereka –radhiyaLlâh ‘anhum– jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kapada masyarakat. Dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing dari mereka. Kemudian diambil pendapat dari ahl al-halli wa al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang dicalonkan itu dikenal luas pada masa Khulafa’ur Rasyidin, karena mereka adalah para sahabat –radhiyaLlâh ‘anhum– atau penduduk Madinah. Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.

Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin –radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana juga terdapat dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya amir sementara yang memimpin selama jangka waktu pengangkatan Khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai jumlah paling banyak.


Amir Sementara

Ketika Khalifah merasa ajalnya sudah dekat menjelang kosongnya jabatan Khilafah pada waktunya, Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara untuk menangani urusan masyarakat selama jangka waktu proses pengangkatan Khalifah yang baru. Amir sementara itu memulai tugasnya langsung setelah wafatnya Khalifah. Tugas pokoknya adalah melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru dalam jangka waktu tiga hari.

Amir sementara ini tidak boleh mengadopsi (melegislasi) suatu hukum. Karena pengadopsian hukum itu adalah bagian dari wewenang Khalifah yang dibaiat oleh umat. Demikian juga, Amir sementara itu tidak boleh mencalonkan untuk jabatan khilafah atau mendukung salah seorang calon yang ada. Sebab Umar bin Khaththab telah menunjuk amir sementara itu dari selain orang yang dicalonkan untuk menduduki jabatan khilafah.

Jabatan amir sementara itu berakhir dengan diangkatnya Khalifah yang baru. Karena tugasnya hanya sementara waktu untuk kepentingan pengangkatan Khalifah yang baru itu.

Dalil yang menunjukkan bahwa Suhaib merupakan amir sementara yang ditunjuk oleh Umar adalah :

Perkataan Umar kepada para calon : “agar Suhaib memimpin kalian selama tiga hari dimana kalian bermusyawarah.” Kemudian Umar berkata kepada Suhaib : “pimpinlah shalat orang-orang selama tiga hari.” Sampai Beliau berkata : ” jika lima orang telah sepakat terhadap satu orang, dan satu orang menolak maka penggallah lehernya dengan pedang ….” Ini artinya bahwa Suhaib telah ditunjuk sebagai amir bagi mereka. Ia telah ditunjuk sebagai amir shalat, dan kepemimpinan shalat maksudnya adalah kepemimpinan atas manusia. Dan juga karena ia telah diberi wewenang menjalankan uqubat (sanksi) “penggallah lehernya“, sementara tidak ada yang boleh melaksanakan pembunuhan itu kecuali seorang amir.

Perkara itu telah terjadi dihadapan para sahabat tanpa ada pengingkaran, maka ketentuan tersebut menjadi ijmak bahwa Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara yang melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru. Berdasarkan hal ini, selama kehidupannya, Khalifah juga boleh mengadopsi pasal yang menyatakan bahwa jika Khalifah meninggal dunia dan belum menunjuk amir sementara untuk melangsungkan pengangkatan Khalifah yang baru, hendaknya salah seorang menjadi amir sementara.

Kami mengadopsi dalam masalah ini, jika Khalifah selama sakitnya menjelang maut tidak menunjuk amir sementara, hendaknya amir sementara itu adalah mu’awin tafwidh yang paling tua, kecuali jika ia dicalonkan. Maka berikutnya adalah mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya diantara para mu’awin tafwidh. Demikianlah sampai semua mu’awin tafwidh, seterusnya adalah para mu’awin tanfidz dengan urutan seperti itu.

Hal itu juga berlaku dalam kondisi Khalifah diberhentikan. Amir sementara adalah mu’awin tafwidh yang paling tua jika ia tidak dicalonkan. Jika ia dicalonkan, maka mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya, sampai semua mu’awin tafwidh habis. Kemudian mu’awin tanfidz yang paling tua. Jika semua mu’awin ingin mencalonkan diri (atau dicalonkan), maka mu’awin tanfidz yang paling muda harus menjadi amir sementara.

Ketentuan ini juga berlaku pada kondisi Khalifah berada dalam tawanan, meski ada beberapa detil berkaitan dengan wewenang amir sementara dalam kondisi Khalifah tertawan sementara terdapat kemungkinan bebas, dan dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas. Dan kami akan mengatur wewenang-wewenang ini dalam undang-undang yang akan dikeluarkan pada waktunya nanti.

Amir sementara ini berbeda dengan orang yang ditunjuk Khalifah untuk mewakilinya ketika ia keluar untuk melaksanakan jihad atau keluar melakuakn perjalanan sebagaimana yang diperbuat oleh Rasulullah setiap kali Beliau keluar untuk berjihad atau ketika Beliau melaksanakan Haji Wada’ atau yang semisalnya. Orang yang diangkat dalam kondisi ini, wewenangnya sesuai dengan yang ditentukan oleh Khalifah dalam menjalankan pengaturan berbagai urusan (ri’âyah asy-syu’un) yang dituntut oleh penunjukan wakil itu.


Pembatasan Jumlah Calon Khalifah

Dari penelitian terhadap tata cara pengangkatan Khulafa’ur Rasyidin, nampak jelas bahwa pembatasan jumlah calon itu benar-benar terjadi. Pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah, para calon itu adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Sa’ad bin Ubadah, dan dicukupkan dengan keempatnya. Akan tetapi, Umar dan Abu Ubaidah merasa tidak sepadan dengan Abu Bakar sehingga keduanya tidak mau bersaing dengan Abu Bakar. Maka pencalonan secara praktis terjadi diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Kemudian ahl al-halli wa al-‘aqdi di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat in’iqad. Pada hari berikutnya kaum muslim membaiat Abu Bakar di Masjid dengan baiat taat.

Abu Bakar hanya mencalonkan Umar, dan tidak ada calon lainnya. Kemudian kaum muslim membaiat Umar dengan baiat in’iqad lalu baiat taat.

Umar mencalonkan enam orang dan membatasinya pada mereka dan dipilih dari mereka satu orang sebagai Khalifah. Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi dengan kelima yang lain dan akhirnya membatasi calon pada dua orang yaitu ‘Ali dan Utsman. Hal itu dilakukan setelah lima orang yang lain mewakilkan kepadanya. Setelah itu, Abdurrahman menggali pendapat masyarakat. Dan akhirnya suara masyarakat menetapkan Utsman sebagai Khalifah.

Adapun ‘Ali, tidak ada calon lain selain dia untuk menduduki jabatan khilafah. Maka mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya dan jadilah ia sebagai Khalifah keempat.

Dan karena baiat Utsman di dalamnya telah terealisisasi : jangka waktu terpanjang yang dibolehkan untuk memilih Khalifah yaitu tiga hari dengan dua malamnya; dan demikian juga jumlah calon dibatasi sebanyak enam orang, kemudian setelah itu dijadikan dua orang, maka berikut akan kami sebutkan tata cara terjadinya peristiwa tersebut secara detil untuk mengambil faedah darinya :

1. Umar wafat pada Ahad subuh tanggal 1 Muharam 24 H sebagai akibat dari tikaman Abu Lu’lu’ah –la’anahuLlâh–. Umar tertikam dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat di mihrab pada Rabu fajar empat hari tersisa dari bulan Dzul Hijjah 23 H. Suhaib mengimami shalat jenazah untuk Umar seperti yang telah Beliau pesankan.

2. Setelah selesai pemakaman jenazah Umar –radhiyaLlâh ‘anhu–, Miqdad mengumpulkan ahl syura yang telah dipesankan Umar di satu rumah. Abu Thalhah bertugas menjaga (mengisolasi) mereka. Mereka berenam duduk bermusyawarah. Kemudian mereka mewakilkan kepada Abdurrahman bin ‘Awf untuk memilih diantara mereka sebagai Khalifah dan mereka rela.

3. Abdurrahman mulai berdiskusi dan menanyai masing-masing : jika ia tidak menjadi Khalifah, siapa dari empat calon yang lain yang ia pandang sebagai Khalifah? Jawaban mereka tidak menentukan Ali dan Utsman. Dan berikutnya Abdurrahman membatasi perkara dengan dua orang (‘Ali dan Utsman) dari enam orang itu.

4. Setelah itu, Abdurrahman meminta pendapat masyarakat seperti yang sudah diketahui.

5. Pada malam Rabu yakni malam hari ketiga setelah wafatnya Umar pada hari Ahad, Abdurrahman pergi ke rumah Putra Saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan dari sini saya nukilkan dari al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Ibn Katsir :

Ketika malam Rabu setelah wafatnya Umar, Abdurrahman datang ke rumah putra saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan ia berkata : “apakah engkau tidur wahai Maysur? Demi Allah aku tidak tidur sejak tiga …” yakni tiga malam setelah wafatnya Umar hari Ahad subuh, artinya malam Senin, malam Selasa dan malam Rabu, sampai Abdurrahman berkata : “pergilah dan panggilkan Ali dan Utsman untukku…..Kemudian ia keluar ke masjid bersama Ali dan Utsman….Lalu ia menyeru kepada orang-orang secara umum : ash-shalâtu jâmi’ah (mari shalat berjama’ah). Saat itu adalah saat fajar hari Rabu. Kemudian Abdurrahman mengambil tangan ‘Aliy –radhiyaLlâh ‘anhu wa karamaLlâh wajhah– dan ia menanyainya tentang (kesediaan) dibaiat berdasarkan al-Kitab, Sunah Rasulullah dan perbuatan Abu Bakar dan Umar. Lalu Ali menjawabnya dengan jawaban yang sudah dikenal : berdasarkan al-Kitab dan as-Sunah, iya, sedangkan atas perbuatan Abu Bakar dan Umar, maka ia (Ali) akan berijtihad sesuai pendapatnya sendiri. Lalu Abdurrahman melepaskan tangan Ali. Berikutnya Abdurrahman mengambil tangan Utsman dan menanyai Utsman dengan pertanyaan yang sama. Lalu Utsman menjawah : “demi Allah, ya”. Dan sempurnalah dilangsungkan baiat kepada Utsman –radhiyaLlâh ‘anhu–.

Dan Suhaib mengimami shalat Subuh dan salat Dhuhur hari itu. Kemudian Utsman mengimami Shalat Ashar pada hari itu sebagai Khalifah kaum muslim. Artinya, meskipun baiat in’iqad kepada Utsman dimulai ketika shalat subuh, namun kepemimpinan Suhaib belum berakhir kecuali setelah terjadi baiat ahl al-hall wa al-‘aqd di Madinah kepada Utsman yang selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Karena para sahabat berdesak-desakan untuk membaiat Utsman sampai setelah tengah hari dan menjelang shalat Ashar. Baiat itu selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Maka saat itu berakhirlah kepemimpinan Suhaib dan Utsman menjadi imam shalat Ashar dalam kapasitasnya sebagai Khalifah kaum muslim.

Penulis al-Bidâyah wa an-Nihâyah (Ibn Katsir) menjelaskan kenapa Suhaib masih mengimami shalat Dhuhur, dan sudah diketahui bahwa baiat kepada Utsman telah sempurna dilangsungkan pada waktu fajar. Ibn Katsir berkata :

“… orang-orang membaiat Utsman di Masjid, kemudian Utsman pergi ke Dar Syura (yakni rumah tempat berkumpulnya ahl syura), dan sisa manusia yang lain membaiat Utsman di tempat itu. Dan seakan baiat itu baru selesai (sempurna) setelah shalat Dhuhur. Suhaib pada hari itu mengimami shalat Dhuhur di Masjid Nabawi. Sedang shalat pertama kali yang dilaksanakan oleh Khalifah Amîr al-Mu’minîn Utsman mengimami masyarakat adalah shalat Ashar….”.

Dalam hal ini terdapat perbedaan (dalam beberapa riwayat) mengenai hari tertikamnya Umar dan hari dibaiatnya Utsman…. akan tetapi kami sebutkan yang lebih kuat diantara riwayat yang ada.

Atas dasar ini, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan khilafah setelah Khalifah sebelumnya lengser baik karena meninggal dunia atau di copot, yaitu :

1. aktivitas berkaitan dengan masalah pencalonan hendaknya dilakukan pada malam dan siang hari pertama.

2. Pembatasan calon dari sisi terpenuhinya syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.

3. Pembatasan jumlah calon yang layak dilakukan dua kali : pertama, dibatasi sebanyak enam orang, dan kedua dibatasi menjadi dua orang. Pihak yang melakukan dua pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Karena umat mendelegasikan kepada Umar, lalu Umar menetapkannya enam orang. Dan enam orang itu mendelegasikan kepada Abdurrahman dan setelah melalui diskusi dibatasi menjadi dua orang. Referensi semua ini adalah sebagaimana yang sudah jelas adalah umat atau yang mewakili umat.

4. Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses baiat dan pengangkatan Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan. Suhaib belum berakhir kepemimpinannya dengan terpilihnya Utsman akan tetapi dengan selesainya baiat.

Sesuai dengan yang sudah dijelaskan, akan dikeluarkan undang-undang yang menentukan tata cara pemilihan Khalifah selama dua malam tiga hari. Undang-undang untuk itu telah dibuat dan akan selesai didiskusikan dan diadopsi pada waktunya nanti.

Ini jika sebelumnya terdapat Khalifah yang meninggal atau dicopot. … dan hendak direalisasikan Khalifah baru menggantikannya. Adapun jika sebelumnya belum terdapat Khalifah, maka wajib bagi kaum muslim menegakkan seorang Khalifah bagi mereka, untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Kondisi itu seperti kondisi yang ada sejak lenyapnya Khilafah Islamiyah di Istanbul pada tanggal 28 rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924 M. Setiap negeri dari berbagai negeri yang ada di dunia Islam layak untuk membaiat Khalifah dan mengakadkan jabatan khilafah. Maka saat itu menjadi wajib bagi kaum muslim di seluruh negeri untuk membaiatnya dengan baiat taat. Yakni baiat keterikatan setelah terakadkan kepadanya dengan baiat penduduk negeri itu, asalkan negeri itu memenuhi empat syarat berikut :

1. Kekuasaan negeri itu haruslah kekuasaan yang bersifat independent yang hanya bersandar kepada kaum muslim saja. Tidak bersandar kepada satu negara kafir atau kekuasaan kafir manapun.

2. Keamanan kaum muslim di negeri itu adalah kemanan Islam, bukan keamanan kufur. Yakni hendaknya perlindungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri merupakan perlindungan Islam berasal dari kekuatan kaum muslim sebagai kekuatan Islam saja.

3. Hendaknya penerapan Islam dilakukan secara langsung dan sekaligus dan secara sempurna sebagai penerapan yang bersifat revolusioner dan menyeluruh (tathbîqan inqilâbiyan syâmilan) dan langsung mengemban dakwah Islamiyah

4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat in’iqad khilafah meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyah. Karena yang wajib adalah syarat in’iqad.

Jika negeri itu memenuhi keempat hal di atas, maka hanya dengan baiat negeri itu saja, khilafah sungguh telah terwujud dan terakadkan. Khalifah yang mereka baiat dengan baiat in’iqad secara sah merupakan Khalifah yang syar’i dan tidak sah baiat kepada yang lain.

Setelah itu, negeri lain manapun yang membaiat Khalifah yang lain maka baiat itu tidak sah dan batil. Karena Rasulullah saw pernah bersabda :

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا

Jika dibaiat dua orang Khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya

… فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ

.. penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama

مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ

Siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)


Tata Cara Baiat

Telah kami jelaskan dalil-dalil baiat dan bahwa baiat adalah metode pengangkatan Khalifah dalam Islam. Adapun tata caranya, baiat bisa dilakukan dengan berjabat tangan dan bisa juga dengan tulisan. Abdullah bin Dinar telah menyampaikan hadits, ia berkata :

Aku menyaksikan Ibn Umar dimana orang-orang telah bersepakat untuk membaiat Abdul Malik bin Marwan, ia berkata bahwa dia menulis : “aku berikrar untuk mendengarkan dan mentaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan sebagai amirul mukminin atas dasar kitabullah dan sunah rasul-Nya dalam hal yang aku mampu.”

Baiat itu boleh dilakukan dengan sarana apapun yang memungkinkan.

Hanya saja disyaratkan agar baiat itu dilakukan oleh orang yang sudah balig. Baiat tidak sah dilakukan oleh anak-anak yang belum baligh. Abu ‘Uqail Zuhrah bin Ma’bad telah menyampaikan hadits dari kakeknya Abdullah bin Hisyam yang pernah berjumpa dengan Nabi saw : Abdullah pernah dibawa ibunya Zainab binti Humaid, kepada Rasulullah saw. Ibunya berkata : “ya Rasulullah saw terimalah baiatnya!” Lalu Nabi saw bersabda : “ia masih kecil“. Dan beliau mengusap kepalanya dan mendoakannya (HR. Bukhari).

Adapun lafazh baiat, tidak disyaratkan terikat dengan lafazh-lafazh tertentu. Akan tetapi harus mengandung makna sebagai baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan sunah Rasul-Nya bagi Khalifah dan harus mengandung makna kesanggupan untuk mentaati dalam keadaan sulit atau lapang, disenangi atau tidak disenangi bagi orang yang memberikan baiat. Nanti akan dikeluarkan undang-undang yang membatasi redaksi baiat sesuai penjelasan sebelumnya.

Manakala pihak yang membaiat telah memberikan baiatnya kepada Khalifah, maka baiat itu menjadi amanah diatas pundak pihak yang membaiat dan tidak diperbolehkan mencabutnya. Baiat ditinjau dari sisi pengangkatan khilafah merupakan hak yang harus dipenuhi. Jika baiat itu telah diberikan, maka ia wajib terikat dengannya. Kalau pihak yang memberikan baiat itu ingin menariknya kembali maka hal itu tidak diperbolehkan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Jabir bin Abdullah –radhiyaLlâh ‘anhu– bahwa seorang arab badui telah membaiat Rasulullah saw untuk menetapi Islam. Kemudian ia menderita sakit, lalu ia berkata : “kembalikan baiatku kepadaku!” Beliau menolaknya, lalu orang itu pergi. Lantas Beliau bersabda :

المدينة كالكبر تنفي خبثها، وينصع طيبها

“Madinah ini seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang yang baik.”

Diriwayatkan dari Nafi’ yang berkata : “Abdullah bin Umar pernah mengatakan kepadaku : “aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda :

من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia pasti menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah (HR. Muslim)

Membatalkan baiat kepada Khalifah sama artinya dengan melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah. Hanya saja ketentuan itu berlaku jika baiat kepada Khalifah itu adalah baiat in’iqad atau merupakan baiat taat kepada Khalifah yang telah sah baiat in’iqad kepadanya. Adapun jika baiat itu baru permulaan lalu baiat tersebut belum sampai sempurna, maka pihak yang membaiat boleh melepaskan baiatnya dengan syarat baiat in’iqad dari kaum muslim kepada Khalifah itu belum sempurna. Larangan dalam hadits itu berlaku untuk orang yang menarik kembali baiat Khalifah, bukan menarik kembali baiat kepada seseorang yang belum sempurna jabatan khilafahnya.

Rabu, 23 Desember 2009

Pemikiran Manusia


Pemikiran manusia jika kita melihat fungsinya, maka pemikiran tersebut akan menjadi 3 bagian atau jenis, yakni mafahim (pemahaman), maqayis (standarisasi), dan qana’ah (keyakinan). Dinamakan mafahim karena pemikiran tersebut mempunyai sebuah realitas yang dapat dijangkau oleh panca indera manusia dan dibenarkan karena tidak kontradiktif dengan realitasnya. Contoh pemikiran adalah aqidah yang dibenarkan karena realitasnya dapat diajangkau oleh panca indera, yakni dengan melihat seluruh materi yang telah diciptakan oleh sang khaliq, karena segala sesuatu yang ada berarti ada yang menciptakan, dialah sang khaliq.

Pemikiran ini berfungsi menjadi asas dalam membangun sebuah standart perbuatan pada benda, tetapi tidak bisa dijadikan sebagai standart itu sendiri. Karena itu, diperlukan pemikiran yang berfungsi sebagai standart untuk menentukan perbuatan dan benda, dan yang pasti bukan pemikiran aqidah. Pemikiran ini disebut hukum yang berfungsi sebagai miqyas (bentuk pluralnya maqayis), yaitu standart.

Dalam islam, standart tersebut adalah halal haram,sedangkan ideology yang lain yakni ideology kapitalisme dan sosialisme adalah dengan melihat dari aspek maslahat dan mudharat. Tidak ada unsur halal haram yang menjadi standart dari pemikiran yang diemban oleh kedua ideology tersebut. Ini sesuai dengan buah pemahaman yang telah menjadi darah di kedua ideology tesebut, bahwa segala sesuatu dilihat dari aspek untung rugi atau maslahat dan mudharat, tidak ada istilah halal haram, karena faktanya memang kedua ideology ini mentiadakan hak paten sang khalik dalam pengaturan kehidupan, bahkan idelogi sosialisme menganggap bahwa agama itu adalah candu bagi masyarakat.

Hanya saja , baik pemikiran aqidah dan hukum syariat tidak akan mendorong orang yang memilikinya untuk berkorban demi mewujudkan dan mempertahankannya, jika pemikiran tersebut tidak menjadi qana’ah yaitu menjadi pemikiran yang diyakini dan diterima secara bulat karena bisa dibuktikanberdasarkan hujah-hujahyang argumentatif.

Artinya sebuah pemikiran akan menjadi sangat kuat ketika pemikiran itu ditopang oleh 3 hal, yakni adanya mafahim, maqayis, dan qana’ah. Itulah yang menjadi asas dari terbentuknya sebuah proses yang bernama pemikiran.

Dan harus difahami bahwa masing-masing ideology juga memiliki pandangan yang sama tentang membangun sebuah pemikiran, tapi tidak terkait dengan aktifitas berfikir, karena berbeda antara proses berfikir atau aktifitas berfikir dengan membangun sebuah pemikiran. Kalau proses berfikir itu adalah sebuah aktifitasnya dan komponen apa yang membentuk proses berfikir itu, sedangkan yang namanya membangun pemahaman adalah cara yang khas yang dimiliki sebuah ideology untuk menetapkan sebuah pemikiran.

Begitu juga dengan ideology islam, pemahaman yang dibangun berdasarkan atas aqidah islam, yang bermuara pada aqidah yang dibangun beradasarkn pada konteks al fahm dan al idrak yakni diambil dari fungsi akal, karena aqidah harus dibangun berdasarkan akal. Kemudian di dalam islam jelas sekali bahwa standart yang digunakan adalah halal haram dalam menghukumi sebuah perbuatan atau aktifitas, dan keduanya tadi tambah dengan adanya qana’ah pada pemikiran tersebut, sehingga dengan begitu kita menjadi sangat yakin bahwa pemikiran islamlah yang terbukti benar.

Wallahu’alam bis shawab…

Arsip Blog

chating pengunjung


ShoutMix chat widget

kegiatan

 

"BERFIKIR IDEOLOGIS, BERTINDAK SIYASIH, ISTIQAMAH DALAM DAKWAH" | Copyright © Hanya Milik Allah SWT | template By: NdyTeeN.. Powered by Blogger.